Kalapanunggalupdate.com– Setiap tanggal 14 bulan Mulud (Rabi’ul Awwal) dalam penanggalan Hijriah, masyarakat Sunda, khususnya di pedesaan, memiliki tradisi khas yang masih terjaga hingga kini. Upacara ini menjadi momentum penting untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad SAW sekaligus mengikat tali silaturahmi antarwarga. ( 7/9/2025 ).

Tradisi 14 Mulud biasanya ditandai dengan kegiatan doa bersama, pembacaan shalawat, tablig akbar, hingga penyelenggaraan “muludan” yang diramaikan dengan pembacaan kitab Barzanji atau marhabanan. Selain itu, sebagian masyarakat juga membuat tumpeng, nasi uduk, hingga sasajen sederhana yang dibagikan kepada para tetangga.
Makna Tradisi “Ngabungbang”
Salah satu istilah yang populer dalam tradisi ini adalah “Ngabungbang”, yaitu kegiatan berjaga atau berkumpul semalaman penuh sambil berzikir, bershalawat, mendengarkan ceramah agama, hingga menikmati hiburan sederhana yang bernuansa Islami.
Ngabungbang biasanya dilakukan di masjid, langgar, atau rumah tokoh masyarakat. Bagi orang Sunda, ngabungbang memiliki filosofi mendalam: melawan rasa kantuk demi menambah ilmu, memperbanyak doa, dan menunjukkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.
Menurut KH. Ahmad Zaelani, tokoh agama di Sukabumi, ngabungbang merupakan cara masyarakat Sunda mengisi malam muludan dengan ibadah dan kebersamaan.
“Ngabungbang itu bukan sekadar begadang. Ia adalah bentuk ibadah, menjaga hati tetap terjaga dalam dzikir, sekaligus mempererat silaturahmi antarwarga,” ujarnya.
Tradisi Memandikan Alat Pusaka
Selain ngabungbang, di sejumlah daerah Sunda terdapat pula tradisi memandikan alat-alat pusaka pada momentum 14 Mulud. Pusaka yang biasanya berupa keris, kujang, tombak, atau peninggalan leluhur dibersihkan dengan air bunga dan wewangian.
Menurut warga, tradisi ini bukan sekadar perawatan benda bersejarah, tetapi memiliki makna simbolik: membersihkan diri dari sifat-sifat buruk, memperbaharui semangat hidup, dan menghormati warisan leluhur.
Dr. H. Usep Saepudin, M.Ag, budayawan Sunda, menilai bahwa kebiasaan ini adalah bentuk kearifan lokal.
“Memandikan pusaka saat 14 Mulud jangan hanya dipahami sebagai urusan mistis. Lebih tepatnya sebagai simbol pembersihan diri, meneladani Nabi Muhammad SAW dengan menjaga akhlak yang bersih dan mulia,” jelasnya.
Landasan Hadits Tentang Syukur Kelahiran Nabi
Walaupun perayaan Maulid Nabi tidak secara khusus diperintahkan dalam Al-Qur’an maupun hadits, para ulama menjelaskan bahwa bersyukur atas kelahiran Rasulullah SAW memiliki dasar kuat.
Rasulullah SAW sendiri pernah berpuasa pada hari Senin, dan ketika ditanya alasannya, beliau menjawab:
“Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus, atau diturunkan wahyu kepadaku.”
(HR. Muslim, no. 1162).
Hadits ini menjadi salah satu dalil penting bahwa memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah bentuk syukur atas nikmat Allah.
Selain itu, Rasulullah SAW juga bersabda:
“Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.”
(HR. Abu Dawud, no. 4811).
Dengan demikian, tradisi 14 Mulud, ngabungbang, dan memandikan pusaka dapat dipandang sebagai wujud rasa syukur, kebersamaan, serta penghormatan kepada Rasulullah SAW sekaligus penjagaan kearifan lokal masyarakat Sunda.
Wujud Kebersamaan Masyarakat
Selain sisi spiritual, tradisi ini juga menjadi ajang berbagi rezeki. Anak-anak biasanya paling senang karena banyak warga yang membagikan jajanan khas, seperti rangginang, wajit, dan dodol.
Walau zaman terus berkembang, tradisi 14 Mulud tetap dipertahankan, terutama di desa-desa Jawa Barat. Bahkan, di beberapa daerah, upacara ini dijadikan acara besar yang dihadiri oleh pejabat daerah dan tokoh masyarakat.
Tradisi yang telah diwariskan turun-temurun ini membuktikan bahwa nilai budaya dan agama dapat berjalan beriringan. Upacara 14 Mulud dengan rangkaian ngabungbang dan memandikan pusaka menjadi simbol kecintaan masyarakat Sunda terhadap Nabi Muhammad SAW sekaligus wujud nyata menjaga harmoni sosial.
Reporter : WR